Langsung ke konten utama

RETHORIKA




Retorika (dari bahasa Yunani ῥήτωρ, rhêtôr, orator, teacher) adalah sebuah teknik pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui karakter pembicara, emosional atau argumen (logo), awalnya Aristoteles mencetuskan dalam sebuah dialog sebelum The Rhetoric dengan judul 'Grullos' atau Plato menulis dalam Gorgias, secara umum ialah seni manipulatif atau teknik persuasi politik yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, persuader dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, keprcayaan dan pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai konsubstansialitas dengan penggunaan media oral atau tertulis, bagaimanapun, definisi dari retorika telah berkembang jauh sejak retorika naik sebagai bahan studi di universitas. Dengan ini, ada perbedaan antara retorika klasik (dengan definisi yang sudah disebutkan di atas) dan praktik kontemporer dari retorika yang termasuk analisis atas teks tertulis dan visual.
Dalam doktrin retorika Aristoteles  terdapat tiga teknis alat persuasi politik yaitu deliberatif, forensik dan demonstratif. Retorika deliberatif memfokuskan diri pada apa yang akan terjadi dikemudian bila diterapkan sebuah kebijakan saat sekarang. Retorika forensik lebih memfokuskan pada sifat yuridis dan berfokus pada apa yang terjadi pada masa lalu untuk menunjukkan bersalah atau tidak, pertanggungjawaban atau ganjaran. Retorika demonstartif  memfokuskan pada epideiktik, wacana memuji atau penistaan dengan tujuan memperkuat sifat baik atau sifat buruk seseorang, lembaga maupun gagasan.



Retorika adalah seni berkomunikasi atau kepandaian kita merangkai kata – kata dan menyampaikannya kepada publik. Petrogoras berpendapat bahwa kemahiran berbicara bukanlah demi keindahan bahasa. Sedangkan, Socrates berpadangan bahwa reorika adalah demi kebenaran dengan dialog sebagai teknisnya. (dalam Soyomukti :2010)
Menurut Eugene Garver Retorika sebenarnya bertautan dengan tiga seni penggunaan bahasa untuk mempersuasi orang, tiga seni itu adalah (Dalam Liliweli: 2011)
1.      Ethos – tampilan karakter dan kredibilitas pembicara yang dapat mempersuasi audiens sehingga mereka peduli dan percaya kepada pembicara. Kini, ethos merupakan metode yang paling efektif untuk membentuk karakter pembicara sebagai persuader yang diharapkan mampu membangkitkan sikap kritis audiens agar mereka percaya terhadap pelbagai argumen yang dia ucapkan. Jadi seorang pembicara merupakan seseorang yang apeal to authority karena dia adalah pakar yang menguasai subjek pembicaraan, dan hanya dia pula yang dianggap sangat berpengalaman menjawab dan membahas pelbagai pertanyaan dari audiens.
2.      Pathos – keterampilan pembicara untuk mengelola emosi ketika dia berbicara di depan publik. Pada umumnya para retorik, ketika berpidato, memakai metafora (perumpamaan), amplification(seni menampilkan suara baik dalam volume maupun intonasi), storytelling (pesan yang disampaikan dengan tuturan) yang menggugah perasaan audiens.
3.      Logos- adalah pengetahuan yang luas dan mendalam tentang apa yang dikomunikasikan, di mana struktur pesan yang disampaikan itu harus logis dan rasional dan berbasis pada kekuatan argumentasi, tambahan lagi pesan ini harus disampaikan secara induktif dan deduktif. Yang dimaksud dengan inductive reasoning adalah penyampaian pesan berdasarkan historis dan hipotesis, sehingga membuat audiens dapat menarik kesimpulan umum, sebaliknya deductive reasoning atau enthymematic reasning menghendaki agar seorang persuader merumuskan pesan dalam bentuk proposisi umum, sehingga membuat audiens dapat menarik kesimpulan – kesimpulan khusus. Term logic sebenarnya berkembang dari logos yang oleh Aristoteles dimaksudkan sebagai enthymematic reasoning (metode deduktif), yang juga segagai sentral dari proses invensi retorikal. Beberapa ahli kemudian tampaknya mengabaikan enthumematic reasoning dari Aristoteles ini, namun Cicero memperkuat kembali melalui bahasan dialeka dalam penyampaian pesan.

Di samping tiga seni itu, para retorikan tetap berpegang pada lima hukum retorika, yaitu
  1. Memory – apa yang disampaikan, baik lisan maupun tertulis termasuk yang terekam dalam ingatan.
  2. Invention – isu-isu baru yang disampaikan retorikan.
  3. Delivery – kemampuan retorikan untuk membagi dan menyebarluaskan informasi.
  4. Style – gaya beretorika secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui media massa dan toko masyarakat.
  5. Arragement – kemampuan untuk menyatukan, mengintegrasikan, dan merangkul semua pihak yang beranekaragam dalam audiens.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mutiara Tetaplah Mutiara Dimanapun Berada

Banyak dari kita menyalahkan “ keadaan ” adalah penyebab kita terjatuh pada lembah hitam, kegagalan, kemiskinan dan kerusakan pada diri kita. Ada lagi orang yang menyalahkan lingkungan lah yang bertanggung jawab pada kegagalannya. Memang benar lingkungan berpengaruh pada diri seseorang, oleh karena itu pandai-pandailah dalam memilih lingkungan dan orang terdekat kita. Tapi apakah kesemua itu lantas kita berkata “karena keadaaan begini saya rusak, karena lingkungan lah saya hancur, karena orang tua yang broken home saya jadi begini, karena miskin saya mencuri, karena tidak ada pekerjaan saya merampok”. Bisakah hal seperti itu dijadikan dasar pembelaan atas kesalahan kita? Lantas  apakah kita tidak punya “daya dan upaya” untuk menyaring perbuatan-perbuatan yang buruk disekitar kita. Bukankah kita mempunyai “akal” untuk mengetahui perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk, dan akal juga mengetahui mana yang harus dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Mari kita merenun

The Wrong Place

Sabtu siang tadi ceritanya sedang tempat untuk berfikir dan merancang sesuatu, saya pikir tempat tersebut merupakan tempat yang tepat untuk berfikir dan mencari inspirasi. Selain untuk mencari tempat yang lain selain kamar, saya  butuh tempat di luar sana untuk membuka pikiran dan mungkin mendapatkan inspirasi. Setelah memesan double exspresso , tangan saya sudah siap untuk menuliskan di sebuah catatan apa yang tertuang dalam pikiran saya. Tetapi diluar dugaan, ketika sedang menulis suara hiruk pikuk dan teriakan sana – sini mengganggu pikiran saya, apa yang terjadi gumam dalam hati, ketika menoleh ke samping, ternyata anak-anak muda sedang asyik bermain game. Saya tidak tau persis game itu, yang jelas seperti menyusun puzzle dan apabila terjatuh mereka dihukum dengan coretan wajah di mukanya. Permainan-permainan seperti itu sering saya lihat disebagian café sekitaran Palembang belakangan ini. Saya tidak tahu persis tepatnya, tetapi semakin ramai café yang berlomba – lomba mem

Bangkitlah, kembalilah kepadanya

Pada dasarnya semua manusia di bumi ini memiliki banyak kesalahan. Kesalahan itu baik kesalahan yang kecil atau pun yang sangat besar serta kesalahan yang tampak maupun yang tersembunyi. Intinya manusia adalah makhluk yang tak lepas dari yang namanya dosa. Dosa dahulu kala atau pun sekarang, khilaf dan salah pernah kita lakukan. Dahulu, kita pernah mempunyai mimpi yang besar, mimpi untuk menjadi seorang yang besar, mungkin mimpi untuk menjadi seorang pengusaha, pejabat atau pun mimpi untuk melamar seseorang yang kita cintai. Mimpi tersebut gagal karena atas kesalahan kita sendiri, kesalahan yang dibuat terlalu besar sehingga kita harus mengubur dalam-dalam mimpi tersebut. Berjuta-juta kesalahan pernah kita lakukan, kesalahan tersebut membuat kita jatuh, jatuh ke dalam lembah kegagalan. Kesalahan yang membuat kita depresi, gagal meraih mimpi yang pernah kita rencanakan. Lantas apakah yang harus kita lakukan? Apakah meratapi semua yang terjadi ataukah menjadi tidak bersemanga