Langsung ke konten utama

Menimbang Teori Peluru (Hypordemic needle theory)

Dalam menyikapi pesan pada media sosial

Dewasa ini peran media sosial begitu besar dalam kehidupan manusia. entah mengapa seolah – olah “kehidupan maya” lebih penting daripada kehidupan nyata. Bertubi – tubi pesan dalam media sosial menyerang manusia, tidak perduli di kantor, di rumah bahkan di masjid sekalipun. Dengan mudahnya akses teknologi yang kian mudah, murah dan cepat dijangkau oleh semua kalangan manusia. Media sosial seperti breakfast dipagi hari, lunch disiang hari dan dinner dimalam hari, semua manusia berlomba –lomba mendapatkan informasi ditangannya.
Sayangnya, semua informasi yang ada di media sosial seperti “Tuhan” yang layak dipuja. Informasinya dengan cepat diserap dan dipercaya oleh kebanyakan manusia. Tidak perduli dari mana pesan berasal, siapa yang menyampaikannya dan tujuannya untuk apa, tetapi lebih mementingkan aspek menarik atau tidaknya pesan tersebut.
Menarik apabila membahas “hypodermic needle theory” atau yang sering disebut “teori peluru”. Teori ini menjelaskan tentang kekuatan efek media massa terhadap perubahan sikap dan perilaku audiens. Dalam suatu metafora mereka melukiskan pengaruh media terhadap audiens ibarat dokter menyuntik serum kepada pasien yang hanya menyerahkan nasibnya pada suntikan dokter. (Alo Liliweri. 2011: 19).
Ketika anda sakit, pastinya pergi ke dokter untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Kemudian dokter tersebut menyuntik anda, pastinya anda hanya membuka celana dan merelakan dokter menyuntik anda. Pernahkan anda berfikir apakah yang disuntikkan tadi? Benarkah suntikan tadi menyembuhkan penyakit? Apakah racun atau obat yang disuntikan tadi? Pastinya kita percaya karena dia dokter dan memang sesuai prosedur dan kode etik pekerjaan yang dia jalani.
Tetapi lain halnya dengan media. Setiap orang yang menyampaikan pesan pasti mempunyai maksud tertentu dan setiap orang yang menyampaikan pesan tersebut bukan “dokter yang menangani pasien”, mereka belum tentu orang yang berkompeten terhadap permasalahan tersebut. Bisa jadi orang-orang yang ingin memanfaatkan keadaan tertentu, sehingga mengemas pesan tersebut seolah-olah menjadi pesan yang sesuai dengan fakta, padahal hanya cerita fiktif, maupun cerita bohong. Botol madu yang ternyata isinya racun, bisa dibayangkan bahayanya tersebut.
Itulah yang terjadi pada dewasa ini, dengan mudahnya orang terjebak pada “botol madu yang berisi racun”, mereka mengira berita itulah yang tepat, ternyata mereka selama ini menikmati racun-racun yang disebar oleh orang-orang yang tidak bertangggung jawab. Saya teringat dengan pesan Hitler “If you tell a lie big enough and keep repeating it, people will eventually come to believe it”. “Jika kamu memberikan berita bohong secara terus menerus, orang-orang pada akhirnya akan percaya berita tersebut.
Seharusnya kebenaran pesan-pesan tersebut harus di cek dan ricek terlebih dahulu.  Kita harus tahu “Who says what to whom” siapa berkata apa dan kepada siapa dia berkata”. Agama ini juga mengajarkan untuk “Tabayyun” terlebih dahulu sebelum percaya dan menyebarkan berita tersebut, tetapi kebanyakan orang tidak mau belajar dan berfikir.

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik  datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu (Qs. Al-Hujurat: 6)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mutiara Tetaplah Mutiara Dimanapun Berada

Banyak dari kita menyalahkan “ keadaan ” adalah penyebab kita terjatuh pada lembah hitam, kegagalan, kemiskinan dan kerusakan pada diri kita. Ada lagi orang yang menyalahkan lingkungan lah yang bertanggung jawab pada kegagalannya. Memang benar lingkungan berpengaruh pada diri seseorang, oleh karena itu pandai-pandailah dalam memilih lingkungan dan orang terdekat kita. Tapi apakah kesemua itu lantas kita berkata “karena keadaaan begini saya rusak, karena lingkungan lah saya hancur, karena orang tua yang broken home saya jadi begini, karena miskin saya mencuri, karena tidak ada pekerjaan saya merampok”. Bisakah hal seperti itu dijadikan dasar pembelaan atas kesalahan kita? Lantas  apakah kita tidak punya “daya dan upaya” untuk menyaring perbuatan-perbuatan yang buruk disekitar kita. Bukankah kita mempunyai “akal” untuk mengetahui perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk, dan akal juga mengetahui mana yang harus dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Mari kita merenun

The Wrong Place

Sabtu siang tadi ceritanya sedang tempat untuk berfikir dan merancang sesuatu, saya pikir tempat tersebut merupakan tempat yang tepat untuk berfikir dan mencari inspirasi. Selain untuk mencari tempat yang lain selain kamar, saya  butuh tempat di luar sana untuk membuka pikiran dan mungkin mendapatkan inspirasi. Setelah memesan double exspresso , tangan saya sudah siap untuk menuliskan di sebuah catatan apa yang tertuang dalam pikiran saya. Tetapi diluar dugaan, ketika sedang menulis suara hiruk pikuk dan teriakan sana – sini mengganggu pikiran saya, apa yang terjadi gumam dalam hati, ketika menoleh ke samping, ternyata anak-anak muda sedang asyik bermain game. Saya tidak tau persis game itu, yang jelas seperti menyusun puzzle dan apabila terjatuh mereka dihukum dengan coretan wajah di mukanya. Permainan-permainan seperti itu sering saya lihat disebagian café sekitaran Palembang belakangan ini. Saya tidak tahu persis tepatnya, tetapi semakin ramai café yang berlomba – lomba mem

Bangkitlah, kembalilah kepadanya

Pada dasarnya semua manusia di bumi ini memiliki banyak kesalahan. Kesalahan itu baik kesalahan yang kecil atau pun yang sangat besar serta kesalahan yang tampak maupun yang tersembunyi. Intinya manusia adalah makhluk yang tak lepas dari yang namanya dosa. Dosa dahulu kala atau pun sekarang, khilaf dan salah pernah kita lakukan. Dahulu, kita pernah mempunyai mimpi yang besar, mimpi untuk menjadi seorang yang besar, mungkin mimpi untuk menjadi seorang pengusaha, pejabat atau pun mimpi untuk melamar seseorang yang kita cintai. Mimpi tersebut gagal karena atas kesalahan kita sendiri, kesalahan yang dibuat terlalu besar sehingga kita harus mengubur dalam-dalam mimpi tersebut. Berjuta-juta kesalahan pernah kita lakukan, kesalahan tersebut membuat kita jatuh, jatuh ke dalam lembah kegagalan. Kesalahan yang membuat kita depresi, gagal meraih mimpi yang pernah kita rencanakan. Lantas apakah yang harus kita lakukan? Apakah meratapi semua yang terjadi ataukah menjadi tidak bersemanga